Jumat, 21 Maret 2014

Kami adalah Dirimu di Ribuan Hari

"Perjalanan kehidupan adalah pengulangan sejarah dengan cara yang berbeda"

Banyak dari kita yang pernah membaca atau mendengar kalimat tersebut diucapkan.  Ada yang merasakannya biasa saja, dangkal! Namun ada yang sangat dalam. Semua bergantung pada pengalaman perjalanan itu sendiri, singkat atau lama, panjang atau pendek,  hampa atau sangat menggores dalam.

Bagiku,  kalimat di atas begitu dalam maknanya, bukan karena rasa kepuitisan, tapi lebih karena begitu membekasnya goresan perjalanan di ribuan hari lalu. Bukan hanya padaku,  juga pada banyak teman kala itu.

Goresan rasa yang kian berulang,  utamanya saat kujejakkan kaki kembali ke tanah kelahiran Belitong yang sangat luar biasa. Tidak hanya karena stealing effect buku dan film yang telah mendunia itu, atau geliat pariwisata yang kian menggebu,  namun lebih karena garis rasa yang tak kan pupus hingga akhir masa di dunia. 

Mengutip ucapan almarhum Bapak ratusan hari lalu, "Poros jiwa setiap orang dengan tanah kelahirannya, jauh lebih dahsyat dari poros Jakarta -Peking puluhan tahun lalu, karena poros kita dengan tanah kelahiran adalah poros semangat sepanjang rasa'.

"Bila kau lelah, kembalilah menyentuh bumimu, tanah tempatmu berasal, padanyalah kita kembali," lanjutnya kala itu.

Minggu lalu, langkahku kembali ke kampung. Tanah itu tetap ada, semangat itu semakin berasa, dan jiwa ini kian membuncah.  Jejak itu masih ada, meski kini sebagian telah berganti tokoh dan lakon yang dipertontonkan. 

Namun satu yang pasti : Kami adalah dirimu di ribuan hari lalu. Bukan tokohnya,  bukan ceritanya, tapi semangatnya. 
Miskin tak berarti lemah, keringat tak berarti lelah, dan diam tak berarti patah.