Sudah berapa tahun usiamu?
Tahukah kau kapan dirimu akan meninggal?
Seandainya dirimu mati hari ini, adakah yang mengenangmu?
Apakah hidupmu akan dikenang orang setelah dirimu meninggal?
Adakah jejak hidupmu memang sudah ada hingga dikenang orang?
Mengapa dirimu tak meninggal jejak untuk orang banyak?
Sudahkah waktumu yang singkat ini telah dimanfaatkan untuk kehidupan banyak orang?
Tidakkah dirimu akan menyesali hidupmu tak berjejak ini?
Sudahkah kau yakini bahwa dirimu akan dikenang?
Yakinkah?
Sungguh?
Benar?
??????
????????
??????????
*******
Puluhan pertanyaan tiba-tiba muncul di keheningan malam ini. Tak mampu kujawab satupun, kecuali pertanyaan pertama : usiaku sudah empat puluh tahun dan belum meninggalkan jejak apapun. Selebihnya jawabannya gelap, jauh lebih gelap dari malam ini.
Bulan sabit malam ketujuh baru saja kembali ke peristirahatannya, ia kini benar-benar telah meninggalkan jejak. Memberikan kerinduan bagi beberapa penjaga malam yang baru saja memukulkan pipa besi ke tiang listrik. Jejak yang sesungguhnya akan terus dilakonkannya esok malam, kembali menerangi semesta alam dengan kegembiraan. Kurasa ia memang sangat gembira karena setiap malam diberikan keleluasaan oleh Sang Maha Pengatur untuk kembali menunaikan tugasnya, terang benderang adalah hakikat hidupnya.
Duapuluh delapan hari siklus hidupnya; lahir, menjejak langit, menawarkan senyum dengan sebilah sabit, lalu membesar menjadi dewasa, hingga mencapai kegembiraan dalam kematangan jiwa berbentuk bulat sempurna, akhirnya kembali mengecil, dengan mata yang semakin menyipit, dan menutup diri dengan memejamkan mata sepenuh jiwa. Menghadap Sang Maha Pemilik memohon untuk dilahirkan kembali demi tunaikan kegembiraan esok hari. Ia hanya hening semalam saja, mengumpulkan energi sepenuh jiwa, untuk lahir kembali esok hari sebagai wujud yang sama : bulan baru!
Hening, diam, juga terhenyak!
Tiupan angin malam di depan rumahku nyaris tak kurasakan samasekali, tak ada gemeretuk gigi geligi meski penghujung angin timur laut itu akan segera berganti menjadi angin tenggara yang sosoknya tenang, namun kadang segera bergolak tanpa diduga. Diriku yang duduk di sekeping papan selebar delapan belas sentimeter dan panjangnya tak lebih dari duaratus delapan puluh lima sentimeter, tetap hening. Teguran sang penjaga malam dari pos kamling di samping kanan rumahpun tak menarik perhatianku untuk menjawabnya, bukan karena labirin telingaku sudah mulai mengalami degenerasi karena sedikit namun pasti telah diambil kembali oleh Sang Maha Pemilik, tapi karena tetesan airmata tiba-tiba tak mampu kubendung samasekali!
Kik Syamsu, kik Kambut, Kik Canan, Kik Dukun Sumang, Kik Dukun Mahamid, Kik Dinsang, kik Mahidin, Kik Derahip, Kik Deraup, Kik Lepok, Kik Hasyim, Kik Muhie, Kik Samim, Pak Long Nunok, dan Pak Long Awet sekilas wajahnya muncul di hadapanku. Jelas dan nyata, meski sesungguhnya beberapa dari mereka telah meninggalkan dunia ini lebih dari duapuluh tahun yang lalu, jauh sebelum diriku merantau ke tanah kejayaan ; Bumi Sriwijaya.
Cik Usa, Cik Denan, Cik Muhammad, Cik Bujang, Cik Rahimin, Cik Nuyam, Bang Juli, Bang Mingguk, Bang Wandi, Bang Mili, Mak Ajong, dan Cik Duno, kilasan wajah mereka juga muncul selanjutnya. Tersenyum kulihat beberapa dari mereka, bahkan ada yang terasa menepuk bahuku seolah menguatkanku untuk menggoreskan jejak hidup. Beberapa dari mereka juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, namun jejak hidup mereka sepertinya akan segera lenyap beberapa tahun kemudian. Hanya jadi cerita saja, hingga pelan namun pasti kemudian akan lenyap di telan angin. Mereka semua akhirnya akan menjadi debu, benar-benar lenyap dari pandangan manusia!
Bu Nyaik, Bu Minah, Bu Seni, Bu Soleha, Bu Caroline, Bu Rosita, Bu Djenni, Bu Suryani, Bu Kartini, Pak Mukhlis, Pak Zahawi, Pak Supanto, Pak Zulkifli, Pak Muchtar, Pak Silaban, Pak Bambang, Pak Priyanto, Pak Syafei, Pak Sigit, dan banyak guruku yang lain juga menampakkan wajahnya saat ini. Kerinduan itu makin dekat, lebih dari duapuluh tahun diriku tak berjumpa dengan mereka semua. Entahlah, apakah beberapa dari mereka masih dapat kutemui di dalam kehidupan ini, tak tahulah. Namun jejaknya masih kurasakan, sayang akhirnya beberapa tahun mendatang akan hilang ditelan waktu karena makin tak dituturkan oleh siapapun.
Cumik, Cuam, Cuai, Cunok, Cunan, Caus, Teri, Titiek, Damong, Syukri, Gujo, Gudut, Kujum, Mitak, Ali, Indek, dan Hendri; mereka semua kawan kecilku yang sekarang sedang berjuang menjejak hidup, lebih tepat bertarung hidup menghadapi kerasnya kehidupan yang tak pernah melunak. Bahkan nyaris tak sempat berpikir untuk meninggalkan jejak abadi kehidupan, mereka juga akan punah menjadi debu, tak kan ada cerita apapun tentang mereka beberapa generasi kemudian, benar-benar lenyap!
Bapak, Umak, Bang Fanani, Bang Fatani, Bang Farabi, Bang Faridz, Mita, Pak Ute dan Mak Ute. Mereka semua orang terdekat dalam hidupku, lingkar dalam! Tak mampu kujawab pertanyaanku akankah mereka juga menjadi debu beberapa tahun setelah mereka semua nantinya meninggalkan dunia? Akankah mereka mirip seperti tuturan yang sering disampaikan Bapak dan Umak tentang adikku Aziar yang hanya diberi izin oleh Sang Maha Pemilik seminggu saja di dunia ini, untuk kemudian memenuhi janjinya menghadapNya meski belum pernah sedikitpun melihat indahnya rumah kami di kampung Batu Penyu. Sang Maut tak sedikitpun memberi waktu baginya untuk pulang ke rumah meski hanya sedetik, adikku telah memenuhi janjinya di Rumah Sakit PT. Timah di Manggar, tempat ia dilahirkan sekaligus menutup mata.
![]() |
sumber : mutiaradidasarlautan.blogspot.com |
Kenangan, pada akhirnya semua hanya menjadi kenangan hidup. Baik dan buruk pada akhirnya akan menguap juga selepas lelahnya tuturan disampaikan oleh generasi terdekat. Kebaikan sering hanya bertahan beberapa tahun, namun keburukan sering bertahan lebih lama. Sayang, hanya kenangan dari mulut ke mulut. Mereka yang arif, bertutur dengan banyak kearifan lokal, akhirnya lenyap ditelan waktu. Tak ada jejak sejarah pemikiran-pemikiran mereka yang luar biasa yang mampu bertahan lama, jauh dari kata lestari. Meskipun tuturan kearifan lokal mereka sesungguhnya ada tuturan kehidupan yang sesungguhnya, tuntunan kehidupan yang seharusnya dijalani oleh kita selama di dunia.
Diam, makin diam.......
Nyanyian jangkrik di sudut pagar rumah kembali berdenyit. Beberapa kecoa berlarian saat mendengar kibasan seekor tikus yang berlari di sisi kolam ikan berlapis terbal plastik itu. Bergolak riak airnya, ikan gurami sebesar telapak tanganku rupanya tak ikhlas keheningan malamnya terusik oleh sang tikus. Protesnya kali ini telah mengagetkan sang tikus untuk segera berlari, menyingkir jauh dari keheningan tengah malam yang makin diciptakan. Keheningan berbalut kegelapan, makin membuatku larut dalam renungan kehidupan.
Akankah diriku juga seperti mereka? Akankah akhirnya jejak kehidupanku menjadi debu dan akhirnya hilang memenuhi atmosfir? Akankah diriku hanya diingat dalam sebongkah batu nisan bertuliskan namaku, yang akhirnya juga akan hilang beberapa generasi kemudian karena tergusur atau karena tak dirawat oleh siapapun lagi? Akankah???
Tidaaaakkkkkkkkk........!!!
Tak kan pernah itu terjadi. Diriku tak mau lenyap tanpa meninggalkan jejak kehidupan. Dirikupun juga tak boleh membiarkan mereka yang telah banyak bertutur kearifan lokal itu juga lenyap. Mereka harus kuhidupkan, tuturannya harus kugoreskan, dan semangat kehidupannya harus tetap diprasastikan. Ada generasi hari ini karena ada generasi sebelumnya, ada kehidupan yang indah hari ini juga karena ada kehidupan penuh perjuangan sebelumnya, dan ada kejayaan hari ini karena ada kekuatan lahir dan bathin sebelumnya.
Keheningan itu kini mencapai puncaknya, sebuah jawaban atas kemirisan hidup itu kini mendapat jawaban. Sebuah buku, adalah jawaban sesungguhnya. Selama buku itu masih ada, selama itu pula jejak-jejak kehidupan diriku dan mereka yang kututurkan akan tetap hidup. Kearifan lokal, pemikiran-pemikiran pragmatis kehidupan yang mengajarkan bagaimana seharusnya kita hidup, dan semangat-semangat kehidupan berdasarkan tuntunan kehidupan, jelaslah sesuatu yang tak perlu direkayasa. Hiduplah sebagaimana kita harus hidup, tuturkan sebagaimana harus kita tuturkan, maknai sebagaimana harus kita maknai, dan kuatkan sebagaimana harus kita kuatkan!
Sesak nafas di dada itu kini mulai terasa lega, beban itu kini mulai kulepaskan satu persatu, goresan demi goresan itu kini mulai menjadi rangkaian tuturan dalam beberapa halaman kehidupan yang makin nyata. Mereka semua mulai kuhidupkan dengan caraku, berbalut kearifan lokal yang kuangkat dari negeri Belitong.
Hanya butuh keheningan, lalu refleksi diri, dan akhirnya satu keputusan bulat dan tak terbantahkan. Empat puluh tahun usiaku malam ini, terlalu lama waktuku untuk menemukan jawaban atas banyak pertanyaan kehidupan selama ini. Hidup itu sesungguhnya abadi, pemikiran-pemikiran sesungguhnya abadi, kearifan-kearifan lokal juga abadi, hanya cara mengabadikannya saja yang berbeda. Diriku sudah memutuskan untuk menjadikan semuanya abadi lewat banyak tulisan, yang akhirnya kuharapkan akan menjadi sebuah buku.
Pukul dua kurang lima menit, tengah malam ternyata sudah kulewati. Keheningan mencapai titik kulminasinya. Basah beberapa anggota tubuhku, wudhu itu kini membuka pikiran dan hatiku, dan tahajjud menguatkannya. Rangkaian huruf demi huruf terangkai menjadi kata, kata berangkai menjadi kalimat, dan kalimat berteman menjadi tuturan. Beberapa kali tuturan berulang menjadi repetisi, makin menguatkan dan makin menegaskan makna yang ditasbihkan.
Alinea demi alinea, gejolak pikiran dan hati kini telah menyatu bersama jari-jari yang otomatis mengungkapkan diri. Mereka kini telah menjadi satu membentuk sinergi kehidupan yang harmonis, hadir dari dalam diri, alam bawah sadar kini makin bernyanyi. Trance!
Beduk subuh, jarum jam pendek berada di antara angka empat dan lima, sedangkan jarum panjang baru saja bergeser dua garis kecil dari angka enam; Setengah lima lewat dua menit. Delapan halaman telah kutuliskan, airmata tak terasa menetes, sebuah sujud syukur kulakukan. Kekuatan itu kini benar-benar nyata. Pikiran, hati, jiwa, dan seluruh anggota tubuh telah menyatu menguakkan makna. Diriku ternyata hanya butuh momentum kehidupan untuk mewujudkannya, dan kini semuanya sudah ada dan nyata!
Langkah pasti kuayunkan, selanjutnya sudah menjadi rencana Sang Maha Perencana. Ia sebaik-baik Perencana, diriku cukup menggoreskannya saja tanpa perlu banyak bertanya mencari jawaban.
Bismillah......